Senin, 01 Juni 2015

Pemberontakan DI/TII di Aceh

Pemberontakan DI/TII di Aceh
1.         Awal Mula Pemberontaka DI/TII diAceh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953. Dimulai dengan pernyataan Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh, proklamasi itu menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) dibawah kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Pemberontak ini muncul karena masalah otonomi daerah. Semula aceh merupakan daerah istimewah dengan gubernur Daud Bareuh. Namun, pemerintah RI menurunkan status daerah istimewa Aceh menjadi keresidenan dalam lingkup propinsi Sumatra utara. Daud bareuh l\kecewa terhadap keputusan pemerintah sehingga ia menyatakan mendukung berdirinya NII Kartosuwiryo dan Aceh menjadi bagiannya.
Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh telah berhasil mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Pada masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.Tidak lama setelah pemberontakan pecah, Pemerintah Republik Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo segera memberikan penjelasan secara runtut tentang peristiwa tersebut di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Oktober 1953.
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan, kekecewaan Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah tersebut dikhabarkan diambil oleh Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh sedang bersiap buat sebuah pemberontakan guna memisahkan diri dari negara Indonesia.
Sebab utama yang melatar belakangi terjadinya pemberontakan ini adalah kekecewaan para tokoh pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh kedalam provinsi Sumatera Utara yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan mengabaikan jasa baik masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-1950).
2. Peran Ulama Aceh
Adanya perbedaan pendapat yang muncul antara pemimpin Aceh dengan pemerintah pusat (Jakarta), merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya pemberontakan DI/TII tahun 1953, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Saat itu, rakyat Aceh mengharapkan daerahnya menjadi salah satu provinsi yang mendapat perlakuan yang istimewa .
Sebenarnya ada beberapa alasan lain yang menjadi latar belakang mengapa rakyat Aceh menentang pemerintah pusat.  Pertama, rakyat Aceh sudah lama terlibat perang untuk mempertahankan negerinya dari jajahan kolonial Belanda. Hampir seratus tahun tidak ada pembangunan yang dapat dilakukan, ekonomi dan pendidikan tidak dapat dikembangkan.
Rakyat Aceh merindukan pemimpin yang berasal dari daerah Aceh atau putra daerah. Karena dengan pemimpin yang berasal dari daerah sendiri, maka diharapkan dapat memahami kebutuhan rakyat dan memahami watak rakyat Aceh yang agak berbeda, khususnya dipandang dari aspek agama dan budaya, dibandingkan dengan masyarakat dari wilayah lainnya di Indonesia. Akan tetapi, Pemerintah pusat mempunyai sisi pandang yang berbeda mengenai permintaan masyarakat tersebut. Provinsi Aceh yang baru berumur setahun disatukan dengan Sumatera Utara untuk dijadikan satu provinsi.  Sejak saat itu, kekecewaan demi kekecewaan mewarnai situasi Aceh.
Suasana menjadi semakin panas dengan adanya penangkapan-penangkapan sejumlah tokoh yang lantang dan bersuara keras, yang dilakukan oleh aparat keamanan. Karenanya,  Daud Beureueh, pada 21 September 1953, memutuskan perang melawan Pemerintah Indonesia. Ia menyatakan bergabung dengan gerakan SM Kartosuwiryo dibawah bendera DI/TII, yang sudah mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat pada 17 Agustus 1949.
Sebagian besar Ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), ikut berjuang bersama  Daud Beureueh saat itu yang sudah naik gunung. Ulama yang ikut mengangkat sejata tersebut, tergabung dalam resimen 5 DI/TII, sekaligus pengawal paling setia Daud Beureueh.
Pemberontakan yang terjadi di Aceh pada awal tahun lima puluhan melibatkan mayoritas masyarakat Aceh, karena digerakkan oleh sejumlah ulama yang terkenal pada waktu itu, di antaranya yaitu Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Pemerintah pusat tidak dapat meredam pemerintakan tersebut, yang berlangsung selama sembilan tahun yaitu 1953-1962. Pemberontakan ini berakhir setelah pemerintah pusat menerima status daerah Istimewa Aceh. Rakyat Aceh diberi hak otonomi, yaitu dalam bidang keagamaan, pendidikan, dan adat istiadat. Dalam mengakhiri pemberontakan tersebut, ditandai dengan adanya perdamaian yang juga dipelopori oleh sejumlah ulama Aceh pada waktu itu.
Pemberontakan DI-TII berakhir tahun 1960, dimana Aceh mendapat status Daerah Istimewa, yang uniknya status ini justru kelak menjadi alasan baru Pemberontakan Aceh Merdeka oleh (AM) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976 yang dipimpin oleh DR. M. Hasan Tiro. Hasan Tiro sendiri berasal dari Kecamatan Tiro yang relatif masih bertetangga dengan kawasan Lameuloe yang kemudian diberi nama Kota Bakti, dimana Teuku Daud Di Cumbok bersama banyak tokoh Uleebalang lainnya memimpin Perang Cumbok. Daerah Cumbok dan Tiro sebenarnya hanya dipisahkan oleh sebuah sungai bernama Sungai Keumala, Pidie.
Eksistensi ulama dalam masyarakat sebelum kehadiran Belanda ke Aceh adalah sangat besar artinya. Ulama tidak hanya dipandang sebagai orang yang memiliki ilmu keagamaan semata, melainkan juga dianggap orang yang mampu menguasai adat istiadat serta pengetahuan lainnya. Keterlibatan ulama sangat besar artinya terhadap kondisi sosial dan politik di Aceh. Secara politis, sejak awal kemerdekaan ulama Aceh sudah memegang peran yang sangat strategis, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh dalam memperjuangkan status Daerah Istimewa bagi Aceh. Pengaruh keterlibatan ulama Aceh dalam kancah politik adalah dapat menjadi pelopor dalam menyuarakan aspirasi masyarakat Aceh (umat Islam). Ulama juga ikut berperan dalam menggagas perdamaian di Aceh, seperti halnya dalam penyelesaian DI/TII dan juga ikut pro aktif dalam mengupayakan perundingan Helsinki, yaitu perundingan antara pemerintah RI dengan GAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar